Jumat, 30 Juli 2010

Pembatal-pembatal syahadat (nawaqidhu asy-syahadah)

Kata nawaqidh adalah bentuk jamak dari asal kata naqidh, artinya “yang merusak”. Maka kata nawaqidh syahadah berarti yang merusak dan membatalkan makna syahadat, dimana meyakini, mengucapkan dan mengamalkan makna syahadat tidak secara otomatis membuat ia disebut muslim, serta bebas dari semua yang menyalahi Islam. Sehingga apabila salah satu dari hal-hal yang membatalkan syahadat itu ada pada diri seseorang, maka ia tidak dapat disebut muslim dan tidak diperlakukan dengan hukum yang diberlakukan muslim, melainkan diperlakukan dengan hukum yang diberlakukan kepada orang-orang kafir atau musyrik. Ini bila pembatal syahadat itu terdapat dalam dirinya sejak awal.

Tetapi ia disebut murtad bila melakukan salah satu pembatal syahadat setelah masuk Islam. Sekalipun ia telah meyakini kebenarannya dengan hatinya, mengucapakan dengan lisannya dan melaksanakannya dengan raganya.
Pertama, ketidaktahuan (jahl) akan makna syahadat. Dengan demikian, mengucapkan syahadat tanpa mengetahui maknanya sama sekali tidak bermanfaat baginya.
Kedua, keraguan (syakk) akan sebagian atau seluruh makna syahadat. Karena dengan begitu ia sebenarnya menganggap kebolehan dan ketidakbolehannya sama saja. Bahkan andaikan pun ia menganggap salah satu atas yang lain, hal itu tetap membutuhkan keyakinan.
Ketiga, mempersatukan (syirk) Allah dengan sesuatu selain Dia.

إِنَّنِيْ بَرَآءٌ مِمَّا تَعْبُدُوْنَ . إِلاَّ الَّذِيْ فَطَرَنِيْ فَإِنَّهُ سَيَهْدِيْنِ . وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فيِ عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ (الزخرف : 26-28)
"Sesungguhnya aku tidak bertanggungjawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS az-Zukhruf : 26-28).
Dan ini menuntut adanya pengetahuan tentang syirik dan batasan-batasannya, agar kita dapat menghindari syirik dan para pelakunya.
Keempat, kedustaan dalam akidah (nifaq), yakni menampakkan iman dan menyembunyiakn kekufuran.
يَقُوْلُوْنَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسِ فيِ قُلُوْبِهِمْ (الفتح : 11)
“Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya.” (QS al-Fath : 11).
Lawan dari nifaq adalah mengetahui makna syahadat tauhid, menerimanya dengan hatinya, melaksanakan semua kewajiban yang menjadi konsekensinya, sedang hatinya jujur dengan apa yang diucapkan oleh lisannya.
Kelima, membenci terhadap syahadat dengan segala maknanya, memusuhi orang-orang yang meyakini kebenarannya dan para penyerunya, serta berusaha menjauhkan manusia darinya dengan jalan menyeru kepada hal-hal yang bertentangan dengan kalimat itu, serta mendukung dan mencintai para penyeru tersebut dan menjadikan mereka sebagai sekutu selain Allah.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ (البقرة : 165)
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (QS al-Baqarah : 165; at-Taubah : 21).
Keenam, meninggalkan makna dan lafazh syahadat serta tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban yang sudah menjadi konsekuensinya, baik secara umum maupun parsial, dimana ia tidak melaksanakan rukun Islam dan perbuatan Islami; sekalipun ia mengkalim bahwa ia memahami, meyakini dan mencintai maknanya, serta memusuhi semua yang menyalahinya serta para pelakunya.
Ketujuh, menolak makna dan lafazh syahadat serta keyakinan akan kebenarannya. Karena kaum musyrikin Arab sebenarnya mengetahui makna syahadat, tetapi menolaknya dan tidak menyukainya.
إِنَّهُمْ كَانُوْا إِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَسْتَكْبِرُوْنَ وَيَقُوْلُوْنَ أَئِنَّا لَتَارِكُوْا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُوْنٍ (الصافّات : 36)
“Apabila dikatakan kepada mereka ‘laa ilaaha illallah’ (tiada tuhan selain Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila’.” (QS ash-Shaffat : 36). (Lihat: al-Madkhalu li Dirasatil ‘Aqidatil Islamiyyah ‘alaa Madzhabi Ahlissunnah wal Jama’ah, Dr. Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah Al Buraikan).
Dikutip dari hidayatullah.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar