Selasa, 01 September 2009

Al Chaidar: “Ini Bukan Pengajian Biasa, Tapi Korporasi Jihad yang Mencengangkan”

Jihad tak harus selalu diurus dengan muka serius dan urat tegang. Dia bisa lucu dan jenaka karena bagi mereka : jihad adalah juga wisata umat, yang di dalamnya, terkadang, ada banyak pernikahan.

Dua belas tahun lalu, Al Chaidar sedang menyiapkan tesis akhirnya di Jurusan Antropologi. Dosennya, Profesor Parsudi Suparlan Almarhum, waktu itu meminta tiap mahasiswanya meneliti suku terasing. Sebagai orang Aceh, Chaidar berpikir meneliti suku sendiri, yang kemudian urung karena melihat Aceh sudah sangat kosmopolit.

Dalam pencariannya, Chaidar bertemu dengan sebuah kelompok kecil di Musholla Fisip UI, yang belakangan dikenal adalah bagian dari kelompok Darul Islam. Kelompok tersebut dikenal inferior. Beberapa temannya sempat mengingatkannya agar tidak berteman apalagi mengikuti kegiatan kelompok tersebut. Tapi, penelitian mengharuskannya terlibat jauh. “Ini kelompok DI/NII, saya berkenalan dengan mereka dan sempat ikut ke Afghanistan dan Mindanao untuk menulis dan meneliti.”

Yang terkejut dengan hasil penelitiannya adalah Profesor Parsudi. “Mereka akan jadi teroris,” kata Parsudi waktu itu. Konsep dan pemikiran kelompok tersebut tentang negara, target dan cara mereka mencapai tujuan itu, menjadi patokan kesimpulan itu. Mereka bukan sekadar gerakan tapi sebuah aktifivitas radikal. Yang paling mengejutkan adalah mereka begitu mudahnya menilai nyawa mereka dan juga “lawan”nya sebagai sesuatu yang murah.

Tapi Chaidar belum percaya. “Ilmu saya belum cukup untuk menafsirkan seperti dia,” katanya. Baginya, menjadi teroris adalah sebuah keniscayaan. Apalagi, kelompok ini punya pengalaman pahit di masa orde baru. Mereka pernah trauma, dikejar-kejar aparat pemerintah karena terlibat kasus Usro tahun 1982, masa dimana ketika mereka secara door to door mengajak dan merekrut orang menjadi anggota Darul Islam, yang membuat mereka harus lari ke Malaysia, Lampung, dan juga ke Jawa Timur.

Apa yang diramalkan Almarhum Parsudi pada akhirnya benar : kelompok ini menunjukkan wajah aslinya, menjadi pusat teroris, yang menjadi biang berbagai bom bunuh diri di Indonesia, dalam beberapa tahun belakangan ini. “Saya tidak menduga kelompok yang saya teliti adalah pusat bom bunuh diri dan fokusnya akan sedemikian besar,” kata Chaidar yang sejak tahun 2000 terkena insomnia, dia baru bisa tidur jam enam atau tujuh pagi.

Dia masih saja berpikir, gerakan mereka hanya hit and run, pukul dan lari, bukan orang yang berani kehilangan nyawa seperti kata sang professor. Dia juga masih berpikir, mereka sudah sangat kapok dengan Kelompok Usro. Sebaliknya, mereka mengalami re-radikalisasi di Afghanistan tahun 1983-1985.

Satu per satu akhirnya terbuka. Chaidar misalnya baru tahu kalau teman mengobrolnya selama di Malaysia, Abu Umar, adalah Imam Samudera, buronan paling dicari polisi karena kasus beberapa pemboman. “Saya lihat wajahnya di televisi, saya bilang, loh itukan Abu Umar,” kenangnya.

Dia juga baru tahu belakangan kalau Ustad Hambali, yang kini di tahan di Amerika adalah orang yang pernah menemaninya mencari rokok di Kuala Lumpur, pada sebuah malam sampai menjelang subuh. Tiap kali ke Malaysia, dosen di sebuah universitas di Aceh ini menginap di rumah Imam Samudera atau Ustad Yunus, anggota dari Faksi Ajengan Masduki. ( Faksi Ajengan Masduki adalah salah satu pecahan Darul Islam. Seperti diketahui Darul Islam terpecah-pecah, pertama menjadi 14, kemudian 24, dan 38. Tahun 1992, berdiri Faksi Abdullah sungkar dan Faksi Ajengan Masduki. Keduanya masuk ke Malaysia dan Faksi Ajengan Masduki punya jaringan sangat kuat dengan Osama bin Laden)

Pertemanannya dengan kaum Mujahidin, yang sama sekali tak disengaja itu, membuatnya harus berurusan dengan polisi, digrebek dan diintai. Termasuk semua foto-fotonya dengan Ustad Hambali, Abubakar Baasyir dan tokoh penting lainnya di Malaysia, diambil polisi ketika kantornya di Gang Arab digrebek polisi.

Catatan paspor menunjukkan, Chaidar 23 kali ke Malaysia, untuk urusan dengan kelompok tersebut. Sebagian besar diundang menulis perjuangan dan perkembangan gerakan mereka. “Mereka minta ditulis karena ingin menguasai kelompok DII secara luas. Penguasaan secara luas itu berarti legitimasi, siapa yang akan menjadi pemimpin paling tinggi bagi faksi-faksi yang terpecah,” katanya.

Berteman dengan Imam Samudera dan Abubakar Baasyir, tapi dia tak pernah bertemu Dr. Azhari, baik di Malaysia maupun Indonesia. Dengan Nurdin M Top, dia hanya bertemu sekali, itupun di Indonesia. “Kalau tidak salah, lima hari sebelum Dr Azahari terbunuh di Batu, Malang,” katanya.

Pertemuan itu, katanya, untuk membuka komunikasi negosiasi dengan teroris yang difasilitasi Umar Abduh, bekas narapidana kasus pembajakan pesawat Woyla. “Empat sampai lima hari sebelum Dr Azhari dikepung, saya ditelepon polisi dan diminta ke kantor polisi,” kata Chaidar. Ia menolak dan meminta polisi datang ke rumahnya. Polisi akhirnya datang dan bertanya macam-macam.

Menjumpai Nurdin M Top, dia harus melalui tujuh pos. Di pos pertama, dia harus meninggalkan telepon genggam. Di situ, Umar Abduh minta ikut tapi tidak diijinkan kelompok tersebut. Hanya Chaidar seorang yang dibolehkan. Dia harus berganti naik motor dua sampai tiga kali sebelum akhirnya sampai ke pos ke tujuh, dimana dia bertemu dengan Nurdin M Top, yang memperkenalkan namanya sebagai Mustopa.

Korporasi Jihad

Di Malaysia, Chaidar bertemu dengan Zulkifli Hir atau Marwan. Dia tidak tahu dimana Marwan sekarang. Ada kabar dia sudah ditangkap polisi. Tapi, ketika dicari di Penjara Cipinang, “teman-temannya” bilang, Marwan tidak ada di penjara itu. Chaidar punya kesan khusus terhadap orang ini, seorang akuntan yang punya pergaulan luas, bergaul dengan bule dan orang Kristen, meski dia seorang mujahidin sejati.

Pekerjaannya sebagai akuntan membuatnya bertugas membenahi administrasi dan keuangan di kelompok tersebut. Untuk memudahkan pekerjaannya, Marwan memindahka kantornya dari Port Klang ke Sungai Manggis, agar dekat dengan komunitas kelompoknya. Marwan mengatur semuanya dengan manajemen modern, seperti keuangan, jaringan dan komunikasi. Kantornya mewah, kontras dengan rumah pemimpin kelompok tersebut seperti Abubakar Baasyir, dll.

Manajemen dikelola sangat rapi, berbeda dengan sistem yang dibuat faksi Darul Islam yang sangat tradisional, yang menggerakkan kelompok tersebut dengan modal ingatan, tanpa catatan. “Manajemennya modern dan rapi, sangat disiplin dalam mencatat tiap perihal dan tiap ada rapat, ada minute of meeting, yang tidak boleh dibawa pulang. Ada banyak profesional yang membuat ini bukan pengajian biasa, tapi korporasi jihad yang mencengangkan,” kata Chaidar.

Kantor mewah didirikan Marwan dekat rumah Ustad Abu Umar dan rumah Abu Jibril, yang sederhana. Sebagai catatan : kelompok ini berada dalam satu kompleks cukup besar, di dalamnya ada jalan besar dan mesjid. Gerakan radikal berskala internasional menjadi pilihan sejumlah ustad di kelompok itu. Ustad Abdullah Sungkar dan Ustad Abubakar Baasyir adalah orang yang mencoba melepaskan diri dari NII, dengan mengubah nama NII menjadi Jamaah Islamiyah. Tiap orang diberi pilihan apakah akan tetap menjadi Darul Islam atau NII.

Konsep Jamaah Islam yang dianut diambil dari Umar Abdul Rahman dari Yaman. Jalan pemikirannya adalah ketika negara tidak ada, maka kekuasaan dikembalikan ke jamaah. Mereka tidak memilih konsep Ikhwanul Muslimin yang punya banyak tokoh hebat seperti Muhhamad Qutb Hasan ALbana karena Abdullah Sungkar dan Umar Abu berasal dari Yaman.

Jaringan keluarga

Laporan Sidney Jones menyebutkan jaringan ini sangat geneologis : kepercayaan tertinggi diberikan pada mereka yang mempunyai hubungan darah, atau menjadi saudara karena perkawinan. Jabatan strategis dan penting hanya diberikan pada orang-orang yang mempunyai hubungan darah, baik karena keluarga atau perkawinan. “Kalau ada yang sangat pintar dan ingin diberi kepercayaan lebih besar tapi dia orang luar, maka orang itu akan dikawinkan dengan salah satu dari antara mereka,” kata Chaidar.

Problem muncul ketika Dr. Azahari tidak mau dikawinkan dengan saudaranya Ustad Abubakar Baasyir. Sebuah jabatan tinggi yang sudah dipersiapkan untuknya urung diberikan. Azahari akhirnya hanya sebagai teknisi. Ini perbedaan mendasar dengan NII yang membolehkan orang baru masuk dan memegang posisi tertentu.

Mereka menyaring dengan sangat ketat, terutama orang “luar” yang tidak punya hubungan darah. Saringan pertama adalah geneologis. “Sidney Jones pernah dengan jenaka mengatakan ada yang sudah diceraikan, dikawin anggota lain, cerai, kawin lagi dengan anggota lainnya sampai akhirnya dikawin lagi oleh orang pertama yang mengawininya. Chaidar punya istilah untuk ini : sebuah pergerakan keluarga yang trans-nasional.

Islam teroris

Chaidar membagi Islam menjadi tiga bagian : Muhammadiyah, NU, dan Islam Sempalan. Islam Sempalan dibagi lagi menjadi Islam Fundamentalis dan Islam Radikal. Irisan antara keduanya disebut Chaidar sebagai Islam Teroris.

Orang-orang yang diteliti Chaidar adalah mereka fundamentalis dan radikal. Fundamentalis adalah orang yang beragama tinggi tapi tidak dengan kesadaran politik tinggi. Mereka biasanya sangat memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan jargon-jargon agama seperti misalnya memelihara jenggot, baju muslim dll.

Dia mencontohkan Hambali yang sangat penolong karena dalam pahamnya membantu adalah ibadah. “Ketika suatu malam saya kehabisan rokok di rumah Ustad Abu Umar, dia menemani saya mencari rokok tapi ternyata kedai-kedai sudah tutup. Kami akhirnya mencari rokok sampai ke Kuala Lumpur yang perjalanannya sampai dua jam. Kami sampai di rumah Abu Umar sudah menjelang pagi,” kenang Chaidar sambil tertawa. Hambali, yang kini berada di tahanan di Amerika sana, melakukan itu : “Karena dia fundamentalis ketimbang radikal. Bagi dia menolong adalah ibadah.” Imam Samudera contoh yang radikal. Bagi dia lari lebih mulia, ketimbang tertangkap

Pemahaman lainnya adalah bagi mereka jihad adalah wisata umat, yang didalamnya terkadang ada banyak perkawinan.

Syamsul Arifin keberatan dengan penggolongan yang dilakukan Chaidar, yang menyebutkan adanya Islam Teroris. “Sebagai peneliti, anda juga harus melindungi Islam yang punya banyak wajah,” katanya. Menurutnya, tidak ada Islam Teroris, yang ada adalah teroris yang menggunakan Islam sebagai tamengnya.

“Apakah anda tidak bermasalah dengan teroris? Apakah anda setuju dengan kekerasan? Samsul mencecar.

Chaidar menjawab : “Tidak masalah anda tidak setuju, tapi itu objek penelitian saya dan itu riel adanya. Kewajiban saya sebagai peneliti untuk melakukan kategori itu. “

Dia mengakui ada banyak pertanyaan soal penggolongan yang dia lakukan, ada yang setuju, banyak juga yang anti. “Saya mengembalikan ke defenisi awal saja. Para fundamentalis adalah mereka yang memahami agama dengan kuat tapi minus politik.” Kaum Radikal sebaliknya. Mereka kuat dalam agama tapi juga berpolitik. “Kesadaran tinggi tentang Islam, ditambah politik tinggi menjadikan mereka teroris,” kata Chaidar.

Lalu bagaimana pertanggungjawaban kepada publik? “Saya sebut mereka teroris. Banyak orang Islam yang marah, mereka sendiri menerima, bagi mereka itu heroik. Dan mereka menyebut diri mereka sebagai teroris yang baik.”

Wajah Al Chaidar

Yang menggelitik adalah siapakah Al Chaidar? Pertanyaan itu muncul karena ditengah polisi sibuk mencari dan menelisik jaringan teroris, dia bisa dengan bebasnya bertemu dengan sebagian dari mereka. Pertanyaan dan jawabannya begitu menarik sehingga saya tuliskan dalam bentuk tanya jawab.

Tanya : “Untuk apa sebenarnya mereka sering memanggil anda?”

Chaidar : “Mereka meminta saya ikut diskusi.”

Tanya : “Apakah anda tidak dicurigai sebagai “orang”nya polisi?”

Chaidar : “ Mereka menganggap saya teman dengan tingkat trust, kepercayaan tertinggi. Kalau mau lebih tinggi lagi, harus kawin dengan salah satu dari mereka.”

Tanya : “ Bagaimana anda meletakkan posisi anda di antara mereka dan polisi?”

Chaidar (yang sudah berkali-kali diperiksa polisi) : “Saya lebih nyaman berteman dengan mereka karena dalam relasi selama ini dengan kaum Mujahidin, saya lebih dimanusiakan ketimbang oleh polisi.” Dia mengakui pernah dicurigai kelompok tersebut dan pernah dua kali disidang atau tabayun. “Tapi kecurigaan itu lebih karena faksi,” katanya. Dia dituduh menyebabkan tertangkapnya banyak orang di kelompok tersebut. “Saya minta ditunjukkan siapa yang tertangkap karena informasi saya. Atau saya habis berkunjung dan dia tertangkap. Kalau terbukti, halal saya untuk dihukum mati. Dicari ternyata tidak ada, semua yang tertangkap karena ada yang tertangkap sebelumnya, jadi berdasarkan BAP-nya.” Imam Samudera tertangkap karena email dan jaringan telepon. Ini membuat tingkat kepercayaan mereka pada saya makin tinggi.

Tanya : Lalu siapakah anda di mata polisi?
Chaidar : “Saya tidak mengerti tapi saya merasa tidak nyaman dengan polisi. Saya sering diundang dan ditanya dan berusaha menjelaskan. Di mata polisi saya partisipan, di Mujahidin sebagai sahabat.”

Tanya : “Nurdin ada di mana?

Chaidar : “Dilihat dari gesture mereka, mereka cukup nyaman, kelihatannya tidak ada di banten. Tapi yang saya dengar dia sudah kawin ladi dengan seorang perempuan bernama Novi di Pandeglang.”

Tanya : “Kalau Nurdin datang ke rumah anda, apa yang anda lakukan?

Chaidar : “Sama seperti Mullah Umar, saya akan melindungi dia.”

Tanya : “Fakta menunjukkan kelompok teroris itu ada, tapi pasti ada yang menunggangi ketika terjadi aksi teroris?

Chaidar : “Negara selau punya komoditas pada saat tertentu untuk keselamatan negara. Ada yang murni gerakan teroris tapi ada juga yang ditunggangi. Kita tidak boleh mengambil kesimpulan sebagian untuk keseluruhan. Misalnya bom Istiglal, sepenuhnya dilakukan negara melalui agennya yang sudah direkrut melalui jaringan teroris ini.

Tanya : “Kenapa JI pulang ke Indonesia?”

Chaidar : “Karena menurut Osama bin Laden, Indonesia termasuk negara yang kondusif.”

Tanya : “Apakah mungkin ada perjanjian damai dengan teroris? Siapa yang harus memulai?

Chaidar : “Ketaatan mereka pada fatwa adalah ketaatan pada perjanjian. Mereka sangat terikat dengan perjanjian, sebenarnya tidak harus langsung dengan terorisnya. Ada dua kelompok yaitu Kelompok Nurdin M Top dan Kelompok Poso. Perjanjian dilakukan dengan aliansi atau Jamaah Islamiyah misalnya Ustad Abu. Walau mereka membentuk jamaah baru tapi tidak bisa begitu saja meninggalkan pucuknya, yaitu Jamaah Islamiyah.

Tanya : “Apakah Nurdin bisa tidur nyenyak atau tidak?”

Chaidar : “Dia bisa tidur, saya dengar dia kawin lagi di Pandeglang dengan seorang perempuan bernama Novi.“

Ini bagian paling menarik dari seorang Nurdin. Dia menerjemahkan preskripsi ketuhanan dalam fabel kehidupannya secara jenaka. Semua temannya akan bercerita bahwa dia orang yang ramah, murah senyum, dan jenaka. Salah satunya soal pembekalan bagi sang “pengantin” calon pembawa bom bunuh diri. Mereka memang dibekali berbagai hal dengan metode Dauro atau Retreat, tapi disusupi hal-hal ringan dan jenaka. Dia menyebut “pengantin” karena ketika mati karena bom bunuh diri, mereka tak lagi melewati siksa kubur, langsung bertemu bidadari. Debu yang berterbangan usai sebuah bom meledak, diartikan para pelaku bom bunuh diri itu langsung dimandikan bidadari.

“Waktu bertemu Nurdin, ada dua calon “pengantin” disitu. Ketika mereka akan pamit dan mengucap salam, Nurdin bilang begini : I’ll make you famous – aku akan membuatmu terkenal.” Kata Chaidar tertawa satir.

Jakarta, 28 Agustus 2009

Disarikan dari Diskusi Klub Buku dan Film SCTV dengan Al Chaidar
Leanika Tanjung

Read More..